PETA PEMIKIRAN FIQH

 

PETA PEMIKIRAN FIKIH PADA ZAMAN

SAHABAT DAN TABI’IN

Oleh : Drs. KH. Syafi’i, M.HI

 

 

PENDAHULUAN

Pada masa awal Islam, kata Fikih dipergunakan sebagai pemahaman terhadap hukum-hukum agama secara keseluruhan, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan keyakinan (’aqa’id) maupun yang berkenaan dengan hukum praktis (amaliah) dan akhlak.[1] Kata Fikih sinonim dengan syari’ah atau din[2] yang berupa hukum-hukum kewajiban, perintah, larangan atau pilihan. Pemahaman Fikih semacam ini terus dipergunakan sampai pertengahan abad  ke-2 Hijriyah kemudian setelah melalui masa-masa perkembangan formatifnya, pada abad ke dua hijriyyah, istilah Fikih mengalami pergeseran dan pembatasan sehingga terfokus pada masalah-masalah hukum saja, sejak terjadi perbedaan antara Syari’ah dan Fikih.[3]

Dengan demikian Fikih terus berkembang secara berangsur-angsur sejak zaman Nabi seiring dengan berkembangnya masyarakat dalam rangka menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan yang baru dan mencegah bahaya dan kerusakan yang terus bermunculan.[4] Para sahabat yang merupakan penerus dari para perjuangan Nabi telah melakukan dakwah jauh melampaui dakwah pada masa Nabi, misalnya Persia, Irak, Syam dan Mesir.[5] Pada saat itu Fikih sebagai ajaran Islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan berbagai persoalan yang komplek baik dari segi hukum, moral, kultural maupun ekonomi.[6] Semua persoalan itu membutuhkan pemikiran yang dinamis dan pemahaman yang mendalam untuk menyelesaikannya melalui Fikih.

 

klik link di bawah untuk mendownload….

PETA PEMIKIRAN FIKIH PADA MASA TABI’IN


[1] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hal. 12

[2] Sya’ban Muhammad Isma’il, Al Tasyri’ al Islam Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An-Nahdhah Al Misriyyah, 1985), hal. 11

[3] Syari’at adalah ruang lingkup yang bersifat menyeluruh, baik berdimensi nilai-nilai ilahi, rabbani insani yang meliputi akidah ibadah dan muamalah (Fiqh) dan akhlak atau tasawuf, lihat : Rahmat Djatmiko, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990), hal. 240. sedangkan Fikih bersifat instrumental,  ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut dengan sebagai perbuatan hukum, lihat : Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 45

[4] Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu I, (Beirut : Dar Al Fikr, 1989), hal 18.

[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta : UI Pers, 1986), hal 60-61

[6] Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 33

By stitsunangiringgalek